Di era globalisasi ini banyak sekali kejadian-kejadian yang sangat ironis menimpa bangsa kita terutama dalam hal pendidikan, sangat tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional bahwa pendidikan dengan kekerasan yang ada di bangsa kita ini selalu ada dan belum bisa hilang. Tindak fisik, mental, pelenyapan fisik, jiwa, atau etos untuk bisa hidup secara damai dalam diri manusia terjadi berulang-ulang dan hampir setiap hari.
PERLINDUNGAN terhadap anak korban kekerasan merupakan fenomena sosial yang memerlukan perhatian kita semua. Sebelum diberlakukan UU PKDRT, ketika itu Meneg pemberdayaan perempuan telah mengembangkan model community watch (2002), yaitu membangun kemitraan dengan institusi yang ada di masyarakat, seperti Dasawisma PKK dan institusi lain di tingkat rukun tetangga dan desa, untuk memantau dan melakukan deteksi dini terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk penganiayaan pada anak. Namun, kenyataannya di masyarakat tidak tampak.
Dan kekerasan anak di Indonesia tidak semakin berkurang, tetapi meningkat dari tahun ke tahun. Seto Mulyadi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, misalnya, mencatat pada 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah itu meningkat menjadi 547 kasus pada 2004, dengan 221 kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya. Sebelumnya, majalah Medika mencatat, pada 1992 lalu, dilaporkan terjadi tiga juta kasus perlakukan keji terhadap anak-anak di bawah umur 18 tahun, dan 1.299 di antaranya meninggal dunia. Kekerasan terhadap anak sebenarnya bukan sekadar urusan fisik dan seksual. Itu hanyalah bagian kecil dari kasus yang terjadi. Kalau mau lebih esensial menilai, kekerasan juga meliputi kekerasan psikis dan sosial (struktural).
Melalui beberapa pendekatan ilmiah, buku ini ingin memperlihatkan kepada kita bagaimana kekerasan terhadap anak dari dua sisi, internal dan eksternal selalu menjadi fenomena yang terus terjadi. Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak.(1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa. (2) Kemiskinan keluarga, banyak anak.(3) Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah. (4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak lahir di luar nikah. (5) Penyakit gangguan mental pada salah satu orang tua. (6) Pengulangan sejarah kekerasan: orang tua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama. (7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan.
Namun, di luar faktor-faktor tersebut, sebenarnya kekerasan struktural paling menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Karena sifatnya struktural, terutama akibat kemiskinan, faktor-faktor lain seperti rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, termasuk lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan lemahnya penegak hukum memperkuat tingkat kekerasan terhadap anak. Lebih dari itu, kekerasan struktural juga berdampak luar biasa, jangka pendek maupun jangka panjang.
Situasi di atas tentu sangat memprihatinkan. Berbagai upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak jelas menjadi kewajiban pemerintah, termasuk para pekerja sosial. Masyarakat Indonesia modern ternyata belum sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk diperlakukan secara manusiawi. Di sini, pemerintah sebenarnya punya tugas yang tidak mudah. Pekerja sosial yang mengurusi masalah ini juga masih sangat minim. Karena itu, sangat tepat jika buku ini secara khusus membahas pentingnya gerakan perlindungan terhadap anak.
Buku Kekerasan terhadap Anak disusun secara sederhana; yakni menjelaskan pentingnya kita menjaga kehidupan dan masa depan anak-anak Indonesia yang kondisinya sangat memprihatinkan. Melalui beberapa pendekatan analitis, buku ini ingin mengajak kita agar menjauhkan anak dari bahaya-bahaya struktural maupun kultural. Sekalipun data-data kekerasan terhadap anak di Indonesia tidak banyak berbeda dari yang kita temukan di berbagai media massa, buku ini tetap penting dibaca.Mungkin hal yang agak baru dari buku ini adalah tentang pendekatan paradigmatik dari teori-teori baru berkaitan dengan masalah kekerasan terhadap anak (child abuse). Anak, sebagai generasi bangsa perlu dilindungi, dirawat dan diarahkan kehidupannya.
Saat anak masih dalam usia prasekolah, hal ini mungkin tidak terlalu terasa. Tetapi, ketika anak sudah memasuki usia sekolah, mempunyai banyak tugas belajar, dan sudah mengenal dunia luar yang memberikan berbagai pengaruh pada anak, orangtua mulai “diuji” kesabarannya untuk menghadapi tingkah laku anak.
Akibatnya, orangtua yang secara fisik sudah lelah dan harus menghadapi tingkah laku anak yang dinilai nakal, menjadi tidak sabar. Mereka tidak lagi bisa berbicara, tetapi tak jarang langsung memakai kekerasan fisik.
Bagi banyak orangtua, kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan ini adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.
Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut.
“Kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia tiga sampai 18 tahun,” tutur Purnianti menambahkan.
UNTUK mendefinisikan seorang anak sebagai pelanggar aturan atau nilai yang dianut diperlukan kesabaran, tidak serta-merta menyudutkan anak. Misalnya dengan memberi cap kepada si anak.
Definisi pelanggaran itu berbeda antara anak dan orangtua yang menilai tindakan tersebut. Bagi anak, tindakan itu merupakan ketidaktahuan, permainan, kesenangan, dan petualangan. Tetapi, bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.
Dalam buku Children Are From Heaven (Gramedia Pustaka Utama, 2001) karya John Gray disebutkan, hukuman hanya akan membuat anak tidak dapat mengembangkan cinta kepada diri sendiri atau kemampuan memaafkan diri sendiri. Untuk meningkatkan motivasi dan mengarahkan anak, jangan lagi menggunakan hukuman, tetapi gunakan hadiah. Jadi, penekanannya bukan pada konsekuensi perbuatan negatif, tetapi pada konsekuensi pada perbuatan positif.
Kalau hal-hal positif dari anak yang ditonjolkan, maka anak akan melihat dirinya baik dan berhasil. Gambaran diri yang positif ini tidak hanya akan memotivasi mereka untuk bersikap kooperatif, tetapi dapat menciptakan harga diri, kepercayaan diri, dan suatu perasaan mampu.
Untuk mengendalikan seorang anak yang sedang nakal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah meminta. Kalau anak menolak permintaan itu, langkah kedua adalah mendengar dan memerhatikan. Kalau mendengarkan tidak cukup, langkah ketiga adalah menawarkan hadiah. Jika hadiah juga tidak efektif, langkah keempat baru memerintah, seperti seorang jenderal memerintah pasukannya.
Memerintah adalah mengatakan langsung kepada anak apa yang harus dilakukan anak. Sekali orangtua menggunakan suara memerintah, mereka harus tetap tegas. Menggunakan emosi, penalaran, atau ancaman hanya akan melemahkan otoritas orangtua.
Jadi pada hakekatnya kekerasan orang tua terhadap anaknya boleh dilakuakan asalkan tidak melanggar norma-norma yang ada di masyarakat dengan dalih supaya anak patuh pada orang tua. Karena anak adalah titipan dari sang Ilahi mestinya harus kita jaga sebaik mungkin dan sudah seharusnya kita didik setinggi mungkin jangan samapai telantarkan.
Leave a Response »